Kamis, 03 Juni 2010

Pelaksanaan hukuman mati

Pelaksanaan Hukuman Mati Potensial Langgar Konstitusi

JAKARTA, KOMPAS.com - Hukuman mati tidak memiliki landasan empiris, yakni membuat pelaku kejahatan jera atau jumlah kejadian kejahatan itu makin menurun. Bahkan, pelaksanaan hukuman mati potensial melanggar konstitusi.

Peringatan itu diutarakan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Patra M Zein, Rabu (20/1/2010), di Jakarta. Ia menanggapi tuntutan hukuman mati dari jaksa penuntut umum kepada tiga terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Ketiga terdakwa yang dituntut hukuman mati itu adalah mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, mantan Kepala Kepolisian Resor Jakarta Selatan Wiliardi Wizar, dan pengusaha Sigit Haryo Wibisono. Terdakwa lainnya, pengusaha Jerry Hermawan Lo, dituntut hukuman 15 tahun penjara (Kompas, 20/1).

Secara terpisah, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kamal Sofyan menegaskan, tuntutan hukuman mati terhadap Antasari, Wiliardi, dan Sigit adalah wajar. Tuntutan hukuman mati itu sudah melewati proses panjang yang diyakini benar.

Kamal menegaskan, sejak dinyatakan lengkap, kejaksaan meyakini perkara itu akan terbukti. Jaksa yang berasal dari berbagai daerah pun solid dalam merumuskan tuntutan hukuman mati itu. Riwayat Antasari sebagai jaksa tak bisa dipakai sebagai rujukan guna meringankan tuntutan.

Selain itu, imbuh Kamal, tuntutan seumur hidup terhadap lima terdakwa eksekutor Nasrudin di Pengadilan Negeri Tangerang juga menjadi acuan tuntutan bagi Antasari, Wiliardi, dan Sigit. ”Masak otaknya disamakan. Kan, tidak mungkin,” ujarnya.

Jaksa tertekan publik

Patra menegaskan, tuntutan mati yang diajukan jaksa adalah peringatan terhadap pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di negeri ini. Kalau dilaksanakan, hukuman mati potensial melanggar hak sipil yang fundamental dan melanggar konstitusi.

Pasal 28I UUD 1945, kata Patra, jelas menyatakan hak untuk hidup adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, Indonesia juga sudah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang menyebutkan setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak itu wajib dilindungi dan tidak dapat dirampas secara sewenang-wenang.

”Hukuman mati juga tidak bisa dikoreksi,” ujar Patra. Penegak hukum yang menuntut dan melaksanakan hukuman mati dapat saja melakukan kesalahan. Walau Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) masih mencantumkan hukuman mati, tetapi sudah kehilangan makna. Hukum Belanda, yang menjadi acuan KUHP, sudah menghapuskan hukuman mati.

Menurut Patra, tuntutan hukuman mati yang diajukan jaksa dalam kasus Antasari bukan untuk menegakkan hukum, melainkan pembalasan dendam. ”Model penghukuman yang bersifat retributif (pembalasan) sudah selayaknya ditinggalkan,” katanya lagi.

Secara terpisah, Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang Arief Hidayat berpendapat, penerapan penuntutan maksimal terhadap terdakwa pembunuhan Nasrudin menunjukkan jaksa dalam tekanan publik. ”Tekanan publik itu muncul karena perkara ini tidak hanya semata kasus kriminal, tetapi juga sarat politik,” tuturnya.

Selain itu, tuntutan hukuman mati itu bukti jika jaksa sampai saat ini masih berkeyakinan kasus Nasrudin adalah pembunuhan berencana. ”Jaksa yakin fakta tindak pidana dalam pembunuhan berencana terbukti. Itu baru keyakinan jaksa. Tentunya pandangan dan pembelaan penasihat hukum dan terdakwa juga akan membuktikan sebaliknya,” papar Arief lagi.

Arief Hidayat menyatakan, situasi tekanan publik yang begitu besar terhadap perkara ini menyebabkan jaksa terbebani secara psikologis.

”Kalau kasus pembunuhan itu menyangkut terdakwa yang tak terkenal, tentu mudah diproses secara normatif. Proses hukum Antasari dan kawan-kawan adalah kasus khusus dalam sejarah hukum kita,” ucap Arief.

Jaksa Agung Hendarman Supandji menolak memberikan komentar terkait pro-kontra atas tuntutan itu. (INK/WHO/TRA)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar